Rija Sudirja, dkk. 2005. Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Kascing terhadap Perbaikan Beberapa Sifat Kimia Fluventic Eutrudepts.
Suatu penelitian untuk menelaah pengaruh limbah kulit buah kakao sebagai kompos bioaktif dan kascing terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L) kultivar Upper Amazone Hybrid telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor mulai bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Juli 2005. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah kompos bioaktif kulit buah kakao dengan 4 taraf, yaitu 0 kg per polibeg, 1,25 kg per polibeg, 1,67 kg per polibeg dan 2,50 kg per polibeg. Faktor kedua adalah kascing dengan 4 taraf, yaitu 0 g per polibeg, 10 g per polibeg, 20 g per polibeg, 30 g per polibeg. Percobaan diulang 2 kali sehingga terdapat 32 satuan percobaan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian kompos bioaktif kulit buah kakao dengan kascing tidak memberikan pengaruh interaksi nyata terhadap pH tanah, C-organik dan kapasitas tukar kation (KTK). Efek mandiri memperlihatkan bahwa peningkatan dosis kompos bioaktif kulit buah kakao secara nyata memperbaiki pH tanah dan C- organik, tetapi tidak berpengaruh untuk kascing. Pemberian KBKBK 2,51 kg per polibeg memberikan pH tanah dan C-organik tertinggi masing-masing sebesar 6,9613 dan 4,844%, atau meningkat 50,80% dan 159% jika dibandingkan dengan kontrol.
BAB I PENDAHULUAN
Inceptisols asal Jatinangor termasuk ke dalam sub ordo Udepts, great group Eutrudepts, dan sub group Fluventic Eutrudepts (Mahfud Arifin dan Ridha Hudaya, 2001). Inceptisols merupakan salah satu ordo tanah yang tersebar secara luas di seluruh Indonesia dengan luasan sekitar 70,52 juta ha (Puslitbangtanak, 2003). Melihat penyebaran Inceptisols yang cukup luas, maka pengembangan tanah ini di masa yang akan datang memiliki nilai ekonomi yang cukup prospektif.
Inceptisols Jatinangor merupakan tanah yang belum berkembang lanjut dengan ciri-ciri bersolum tebal antara 1.5-10 meter di atas bahan induk, bereaksi masam dengan pH 4.5-6.5, bila mengalami perkembangan lebih lanjut pH naik menjadi kurang dari 5.0, dan kejenuhan basa dari rendah sampai sedang. Tekstur seluruh solum ini umumnya adalah liat, sedang strukturnya remah dan konsistensi adalah gembur. Secara umum, kesuburan dan sifat kimia Fluventic Eutrudepts relatif rendah, akan tetapi masih dapat diupayakan untuk ditingkatkan dengan penanganan dan teknologi yang tepat.
Fluventic Eutrudepts memiliki cukup potensi untuk pengembangan tanaman perkebunan, diantaranya yang bernilai ekonomis cukup tinggi adalah tanaman Kakao (Theobroma cacao L.). Berdasarkan nilai ekspor komoditi kakao Indonesia pada tahun 2002 adalah sebesar 521,3 juta USD, hal ini menjadi sangat penting dalam menunjang perekonomian nasional. Keunggulan komparatif dari sub-sektor perkebunan dibandingkan dengan sektor non-migas lainnya disebabkan antara lain oleh adanya lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal dan berada dikawasan dengan iklim yang menunjang serta adanya tenaga kerja yang cukup tersedia dan melimpah sehingga bisa secara kompetitif dimanfaatkan. Kondisi tersebut merupakan suatu hal yang dapat memperkuat daya saing harga produk produk perkebunan Indonesia di pasaran dunia.
Menurut Departemen Pertanian (2004) produksi kakao Indonesia pada tahunn 2002 sebesar 433.415 ton, apabila dilihat dari banyaknya produksi ini maka terdapat produk lain berupa limbah kulit buah kakao yang berpotensi mencemari lingkungan, akan tetapi dapat diatasi dengan penanganan dan teknologi yang tepat untuk dimanfaatkan.
Spillane (1995) mengemukakan bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak sekitar 86 %, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7% (Soedarsono dkk, 1997). Menurut Didiek dan Yufnal (2004) kompos kulit buah kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C organik 33,71%, P2O5 0,186%, K2O 5,5%, CaO 0,23%, dan MgO 0,59%.
Jenis pupuk organik lain yang dewasa ini memiliki perhatian dalam bidang penelitian dan manfaatnya cukup tinggi adalah kotoran cacing tanah (bekas cacing = kascing). Kascing mengandung lebih banyak mikroorganisme, bahan organik, dan juga bahan anorganik dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman dibandingkan dengan tanah itu sendiri. Selain itu, kascing mengandung enzim protease, amilase, lipase, selulase, dan chitinase, yang secara terus menerus mempengaruhi perombakan bahan organik sekalipun telah dikeluarkan dari tubuh cacing (Ghabbour, 1966 dalam Iswandi Anas, 1990). Tri Mulat (2003) mengemukakan bahwa kascing mengandung hormon perangsang tumbuhan seperti giberelin 2,75%, sitokinin 1,05% dan auksin 3,80%.
Kompos kulit buah kakao mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman kakao, tetapi kandungan unsur haranya masih sedikit dan memiliki pH yang rendah, sedangkan kascing selain mengandung unsur hara makro dan mikro, dapat meningkatkan pH juga menghasilkan zat pengatur tumbuh untuk merangsang pertumbuhan bibit kakao. Kombinasi keduanya diharapkan dapat memberikan hasil terbaik terhadap perbaikan beberapa sifat kimia Fluventic Eutrudepts dan pertumbuhan tanaman kakao.
Menurut Hakim, dkk. (1986), pemberian pupuk organik dapat menambah cadangan unsur hara di dalam tanah, memperbaiki struktur tanah dan menambah kandungan bahan organik tanah. Pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah diantaranya dapat memperbaiki pH tanah, meningkatkan kandungan C-organik meningkatkan KTK tanah karena bahan organik mempunyai daya jerap kation yang lebih besar daripada koloid liat dan dapat melepaskan P dari P terfiksasi menjadi P-tersedia bagi tanaman.
Hasil penelitian Amien (1984) dalam Mohamad Fadli (2001) menunjukkan bahwa pemberian kascing 7,5 t ha-1 meningkatkan hasil padi gogo sebesar 34,76 %. Hasil penelitian Ni Luh Kartini (1997) menunjukkan bahwa pemberian kascing 7,5 t ha-1 pada Inceptisols meningkatkan P-tersedia dalam tanah dan hasil tanaman bawang putih pada tanah tersebut meningkat pula. Hasil bawang putih tertinggi 7,88 g 3 kg-1 tanah (5,25 t ha-1) dengan dosis optimum kascing 14,343 g3 kg-1 tanah (9,56 t ha-1).
Berdasarkan hasil penelitian Farida Aryani (1996), pemberian kascing berbeda dosis pada tanaman tomat menyebabkan perbedaan yang nyata dalam luas daun, bobot kering tanaman, serta nisbah pupus akar tanaman tomat. Peningkatan dosis kascing dapat meningkatkan hasil sampai dosis kascing optimum 19,1992 g 10 kg-1 tanah (3,84 t ha-1). Hasil penelitian Raden (1999) bahwa pemberian kascing dengan dosis 7,5 t ha-1 ; 15 t ha-1; 22,5 t ha-1 dapat meningkatkan LAB dan LTR serta dapat meningkatkan kandungan P daun tanaman bawang merah. Hasil penelitian Zul Fahri Gani (2002) bahwa pemberian kascing sampai taraf 7,5 t ha-1 dan 15 t ha-1 meningkatkan nilai-nilai variabel respon komponen hasil jagung. Hasil penelitian Atep Afia Hidayat (2002) mengemukakan bahwa hasil buncis maksimal dicapai dengan pemberian kascing 18,28 g tan-1 atau 13,96 t ha-1. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian pada tanaman pangan, kascing dapat meningkatkan serapan hara N, P, dan K dan hasil kedelai hingga 100 % disamping meningkatkan kandungan hara tanah dan pH. Beberapa penelitian juga telah melaporkan bahwa kotoran cacing secara sangat nyata mempengaruhi struktur dan kesuburan tanah. Kotoran cacing biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dan lebih banyak mengandung N total, NO3-N, bahan organik, Mg total, Mg dapat ditukar, P tersedia, basa, dan kadar air (Lunt dan Jacobson, 1944 dalam Iswandi Anas, 1990).
Rachman Sutanto (2002) mengemukakan bahwa dengan pupuk organik sifat fisik, kimia dan biologi tanah menjadi lebih baik. Kompos mempunyai sifat drainase dan aerasi yang baik, namun demikian kascing mempunyai kandungan unsur hara yang tersedia untuk tanaman dan kemampuan sebagai penyangga (buffer) pH tanah.
Secara biologis keduanya mempunyai mikroba yang penting bagi medium tumbuh bibit kakao. Mikroba yang terdapat pada kascing dapat menghasilkan enzim-enzim (amilase, lipase, selulase dan chitinase). Kelebihan kascing tersebut dan didukung pula dengan adanya kandungan hormon tumbuh akan memberikan pengaruh yang lebih baik pada pertumbuhan bibit kakao.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
Secara biologis keduanya mempunyai mikroba yang penting bagi medium tumbuh bibit kakao. Mikroba yang terdapat pada kascing dapat menghasilkan enzim-enzim (amilase, lipase, selulase dan chitinase). Kelebihan kascing tersebut dan didukung pula dengan adanya kandungan hormon tumbuh akan memberikan pengaruh yang lebih baik pada pertumbuhan bibit kakao.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
(1) Apakah terdapat pengaruh interaksi yang nyata antara kompos kulit buah kakao dan kascing terhadap pH, C-organik, dan KTK Fluventic Eutrudepts seerta pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.)?
(2) Berapakah dosis terbaik kompos kulit buah kakao dan kascing yang memberikan pengaruh terhadap perbaikan pH, C-organik, dan KTK serta pertumbuhan bibit kakao?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kulit buah kakao merupakan salah satu limbah dari perkebunan kakao. Apabila tidak dimanfaatkan dapat merupakan masalah lingkungan di sekitar perkebunan. Salah satu cara untuk memanfaatkan kulit buah kakao adalah dijadikan kompos yang dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Pertumbuhan bibit kakao di lapangan sangat ditentukan oleh pertumbuhan tanaman selama di pembibitan. Media tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao di pembibitan. Penggunaan media tanam yang banyak mengandung bahan organik sangat menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman kakao.
Media tanam yang biasa digunakan dalam pembibitan kakao adalah berupa campuran antara tanah dan pupuk organik. Teoh dan Ramadasan (1978) mengemukakan bahwa perbandingan campuran tanah dengan pasir atau pupuk organik sangat berbeda, tergantung pada jenis tanahnya. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan perbandingan dan campuran medium tumbuh antara satu tempat dengan tempat yang lain. Di Malaysia banyak perkebunan menerapkan campuran lapisan atas tanah yang cukup berliat dan pasir kasar dengan perbandingan 2 : 1 (Wood, 1989). Soeratno (1980) menganjurkan tanah isian kantung plastik sebaiknya terdiri atas campuran tanah lapisan atas dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1. Zulfan (1988) dan Erwiyono (1990) menganjurkan apabila digunakan tanah lapisan atas jenis podsolik merah kuning untuk medium tumbuh bibit kakao, sebaiknya dicampur dengan pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1 : 1, sedangkan Wahyudi (1986) dan Soetanto (1991) menganjurkan perbandingan tanah dan pupuk kandang 2 : 1 untuk tanah lapisan atas. Rekomendasi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (1997), yaitu dengan perbandingan komposisi 1 : 1 : 1. (tanah : pasir : bokashi).
Pupuk kandang saat ini adalah salah satu sumber bahan organik untuk pertumbuhan bibit kakao. Penggunaan kompos kulit buah kakao diharapkan sebagai alternatif pengganti pupuk kandang. Bahan organik lain yang dapat berperan sebagai alternatif pupuk kandang adalah kascing, penelitian-penelitian menunjukkan kascing berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Hasil penelitian Amien (1984) dalam Mohamad Fadli (2001) menunjukkan bahwa pemberian kascing 7,5 t ha-1 meningkatkan hasil padi gogo sebesar 34,76 %. Hasil penelitian Ni Luh Kartini (1997) menunjukkan bahwa pemberian kascing 7,5 t ha-1 pada Inceptisols meningkatkan P-tersedia dalam tanah dan hasil tanaman bawang putih pada tanah tersebut meningkat pula. Hasil bawang putih tertinggi 7,88 g 3 kg-1 tanah (5,25 t ha-1) dengan dosis optimum kascing 14,343 g3 kg-1 tanah (9,56 t ha-1).
Berdasarkan hasil penelitian Farida Aryani (1996), pemberian kascing berbeda dosis pada tanaman tomat menyebabkan perbedaan yang nyata dalam luas daun, bobot kering tanaman, serta nisbah pupus akar tanaman tomat. Peningkatan dosis kascing dapat meningkatkan hasil sampai dosis kascing optimum 19,1992 g 10 kg-1 tanah (3,84 t ha-1). Hasil penelitian Raden (1999) bahwa pemberian kascing dengan dosis 7,5 t ha-1 ; 15 t ha-1; 22,5 t ha-1 dapat meningkatkan LAB dan LTR serta dapat meningkatkan kandungan P daun tanaman bawang merah. Hasil penelitian Zul Fahri Gani (2002) bahwa pemberian kascing sampai taraf 7,5 t ha-1 dan 15 t ha-1 meningkatkan nilai-nilai variable respon komponen hasil jagung. Hasil penelitian Atep Afia Hidayat (2002) mengemukakan bahwa hasil buncis maksimal dicapai dengan pemberian kascing 18,28 g tan-1 atau 13,96 t ha-1. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian pada tanaman pangan, kascing dapat meningkatkan serapan hara N, P, dan K dan hasil kedelai hingga 100 % disamping meningkatkan kandungan hara tanah dan pH. Beberapa penelitian juga telah melaporkan bahwa kotoran cacing secara sangat nyata mempengaruhi struktur dan kesuburan tanah. Kotoran cacing biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dan lebih banyak mengandung N total, NO3-N, bahan organik, Mg total, Mg dapat ditukar, P tersedia, basa, dan kadar air (Lunt dan Jacobson, 1944 dalam Iswandi Anas, 1990).
Rachman Sutanto (2002) mengemukakan bahwa dengan pupuk organik sifat fisik, kimia dan biologi tanah menjadi lebih baik. Kompos mempunyai sifat drainase dan aerasi yang lebih baik dibandingkan dengan kascing, namun demikian kascing mempunyai kandungan unsur hara yang tersedia untuk tanaman dan kemampuan sebagai penyangga (buffer) pH tanah. Secara biologis keduanya mempunyai mikroba yang penting bagi medium tumbuh bibit kakao. Mikroba yang terdapat pada kascing dapat menghasilkan enzim-enzim (amilase, lipase, selulase dan chitinase) yang secara terus menerus dapat merombak kompos kulit buah kakao sehingga unsur hara yang terkandungnya menjadi tersedia untuk tanaman. Kelebihan kascing tersebut dan didukung pula dengan adanya kandungan hormon tumbuh akan memberikan pengaruh yang lebih baik jika dikombinasikan dengan kompos kulit buah kakao. Hal ini diharapkan memberikan pertumbuhan bibit yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian secara tunggal.
Kultivar tanaman yang unggul dibutuhkan untuk memproduksi bibit kakao yang baik. Kultivar Upper Amazone Hybrid (UAH) memiliki sifat-sifat yang unggul, diantaranya yaitu: produksi tinggi, lebih tahan terhadap hama dan penyakit, aspek agronomis mudah, pertumbuhan vegetatif yang baik dan periode tanaman untuk menghasilkan cepat (Spillane, 1995). Kultivar UAH banyak digunakan diperkebunan-perkebunan di Indonesia. Bibit yang baik untuk dipindahkan ke lapangan setelah berumur 3-5 bulan, tinggi 40-60 cm, jumlah daun minimum 12 lembar dan diameter batang 0,7-1,0 cm. (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 1997)
Kombinasi dosis kompos kulit buah kakao dan kascing diharapkan dapat memberi pengaruh yang lebih baik terhadap beberapa sifaat kimia tanah (pH, KTK, dan Nisbah C/N).
2.1 Medium Tumbuh
Medium tumbuh merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bibit kakao. Medium tumbuh mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan lingkungan tumbuh yang sesuai uuntuk perkecambahan biji, pembentukan akar dan pertumbuhan awal bibit tanaman (Aris Wibawa, 1993).
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (1997) medium tumbuh untuk pembibitan kakao digunakan campuran tanah lapisan olah, pasir dan pupuk kandang. Balai Penelitian Perkebunan Jember (1988) mengemukakan bahwa medium pembibitan harus berupa tanah yang sifat fisik maupun kimiawinya baik, yaitu subur dan gembur. Untuk tanah yang memiliki sifat fisiknya berat/agak berat (liat) perlu digemburkan dengan mencampur pasir atau bahan organik (kompos/pupuk kandang) atau keduanya sekaligus. Soedarsono dkk. (1997) mengemukakan bahwa tanaman kakao agar dapat tumbuh dengan baik memerlukan bahan organik 3,5% pada kedalaman 0-15 cm.
2.2 Kompos Kulit Buah Kakao
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa organisme hidup. Pupuk organik yang sering digunakan adalah pupuk kandang dan kompos. Rachman Sutanto (2002) mengemukakan bahwa secara garis besar keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan pupuk organik adalah mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologis tanah.
Kompos adalah bahan organik mentah yang telah mengalami proses dekomposisi secara alami. Proses pengomposan memerlukan waktu yang panjang tergantung pada jenis biomassanya. Percepatan waktu pengomposan dapat ditempuh melalui kombinasi pencacahan bahan baku dan pemberian aktivator dekomposisi (Goenadi, 1997).
Salah satu limbah pertanian yang baru sedikit dimanfaatkan adalah limbah dari perkebunan kakao yaitu kulit buah kakao. Opeke (1984) mengemukakan bahwa kulit buah kakao mengandung protein 9,69%, glukosa 1,16%, sukrosa 0,18%, pektin 5,30%, dan Theobromin 0,20%
Kompos dapat digunakan sebagai pupuk organik seperti hasil penelitian Sutanto dan Utami (1995) bahwa tanaman kacang tanah yang ditanam di tanah kritis dengan menggunakan beberapa jenis kompos dapat mengasilkan kacang yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimiawi sesuai dengan dosis anjuran. Hermawan, dkk. (1999) mengemukakan bahwa kompos bioaktif tandan kosong kelapa sawit yang telah matang diberikan ke tanaman kelapa sawit dengan cara dibenam dalam parit mampu secara langsung menghemat 50% dosis pupuk konvensional tanpa berpengaruh negatif terhadap produksi. Selain itu dapat mempercepat lama produksi tanaman kelapa sawit dari 30-32 bulan menjadi 22 bulan jika kompos tandan kelapa sawit diaplikasikan ke lubang tanam pada saat penanaman.
2.3 Kascing
Kascing adalah bahan organik yang berasal dari cacing. Radian (1994) mengemukakan bahwa kascing adalah kotoran cacing tanah yang bercampur dengan tanah atau bahan lainnya yang merupakan pupuk organik yang kaya akan unsur hara dan kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan pupuk organik jenis lain. Kascing dari Eiesnia foetida mengandung nitrogen 0,63%, fosfor 0,35%, kalium 0,20%, kalsium 0,23%, magnesium 0,26%, natrium 0,07%, tembaga 17,58%, seng 0,007%, mangan 0,003%, besi 0,790%, boron 0,2221%, molibdenum 14,48%, KTK 35,80 meg/100g, kapasitas menyimpan air 41,23% dan asam humus 13,88% (Trimulat, 2003).
Gaddie dan Douglas (1977) dalam Radian (1994) menyatakan bahwa kascing mengandung 0,5 – 2 % N; 0,06 – 0,08 % P2O5; 0,10 – 0,68 % K2O dan 0,5 – 3,5 % kalsium. Selain kandungan unsur haranya tinggi, kascing sangat baik untuk pertumbuhan tanaman, karena mengandung auksin (Catalan, 1981 dalam Radian 1994). Unsur hara dalam cacing tergolong lengkap baik hara makro maupun hara mikro, tersedia dalam bentuk yang mudah diserap oleh tanaman (Atiyeh, dkk., 2000). Menurut Scullion dan Malik (2000) stabilitas agregat tanah yang terbentuk cukup baik sebagai akibat tingginya karbohidrat dalam kascing Trimulat (2003) mengemukakan hasil penelitian mengenai pengaruh kascing terhadap jumlah malai padi menunjukkan bahwa pupuk kotoran cacing memberikan jumlah malai 2,5 – 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa kotoran cacing. Menurut Masciandro, dkk. (2000) kascing mengandung mikroba yang bermanfaat bagi tanaman. Aktivitas mikroba membantu dalam pembentukan struktur tanah agar stabil.
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dalam usaha pengembangan pemanfaatan limbah buah kakao sebagai pupuk organik. Selain itu, hasil penelitian ini akan melihat kemampuan dua jenis bahan amelioran dalam memperbaiki sifat kimia Inceptisols (Fluventic Eutrudepts) yang tergolong buruk.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada dunia ilmu pengetahuan, khususnya pada informasi kemajuan penelitian bidang kesuburan (sifat kimia) tanah. Secara tidak langsung penelitian ini juga mengupayakan kepada peningkatan nilai ekonomis dari suatu limbah yang memiliki dampak negatif menjadi dampak positif dalam hal-hal sebagai berikut:
· Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk organic
· Penggunaan pupuk anorganik dapat dikurangi dengan menambah suplai unsur hara dari dua jenis amelioran, yaitu kompos dan kascing yang saling berinteraksi mempengaruhi perubahan sifat kimia tanah ke arah yang lebih baik
· Petani dan pihak perkebunan (perusahaan) setempat dapat mengurangi jumlah limbah kulit buah kakao yang potensial mencemari lingkungan
· Meningkatkan nilai tambah kulit buah kakao.
4.1 Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial, 2 faktor dengan 2 kali ulangan. Faktor pertama Kompos Kulit Buah Kakao (C) dengan 4 taraf : co = tanpa kompos
co = tanpa kompos
c1 = kompos 1,25 kg per polibeg (3 bagian tanah : 1 bagian kompos)
c2 = kompos 1,67 kg per polibeg (2 bagian tanah : 1 bagian kompos)
c3 = kompos 2,51 kg per polibeg (1 bagian tanah : 1 bagian kompos)
Faktor kedua Kascing (K) dengan 4 taraf :
ko = tanpa kascing
k1 = kascing 10 g per polibeg
k2 = kascing 20 g per polibeg
k3 = kascing 30 g per polibeg
Terdapat 4 x 4 = 16 kombinasi perlakuan, seluruh satuan percobaan yang diulang 2 kali menghasilkan 16 x 2 = 32 satuan percobaan. Tata letak percobaan pada Lampiran 1.
4.2 Rancangan Respons
Untuk mengetahui respon perlakuan antara kompos kulit buah kakao dengan dosis kascing dilakukan pengamatan utama dan pengamatan penunjang. Pengamatan utama terdiri dari pH, C-organik, KTK tanah, sedangkan pengamatan penunjang meliputi parameter pertumbuhan bibit kakao (tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot kering total) dengan waktu pengamatan pada umur 4, 7, 10, 13, dan 16 minggu setelah tanam (MST) pada setiap polibeg.
4.3 Rancangan Analisis
Analisis ragam dengan univariat (Anova) dilakukan terhadap data pengamatan dari variabel kimia tanah meliputi: pH, C-organik, dan KTK tanah. Jika dari analisis ragam terdapat keragaman yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1987). Model statistik untuk percobaan faktorial yang terdiri dari dua faktor (C dan K) dengan menggunakan rancangan dasar RAK adalah sebagai berikut (Gaspersz,1995):
Yijk = Ī¼+Ai +Cj + Kk+(CK)jk + Īµ jk
dimana:
Yijk | = | nilai pengamatan (respon) dari kelompok ke-i, yang memperoleh taraf ke-j dari faktor dosis kompos dan taraf ke-k dari |
faktor dosis kascing | ||
Ī¼ | = | nilai rata-rata yang sebenarnya |
Ai Cj Kk (CK)jk | = = = = | pengaruh aditif dari kelompok ke-i (i=1,2,3) pengaruh aditif dari taraf ke-j faktor dosis kompos (j=1,2,3,4) pengaruh aditif dari taraf ke-k faktor dosis kascing (k=1,2,3,4) pengaruh interaksi taraf ke-j faktor dosis kompos dan taraf ke-k faktor dosis kascing |
Īµ jk | = | pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-k yang memperoleh taraf ke-j faktor dosis kompos dan taraf ke-k faktor dosis kascing. |
4.4 Pelaksanaan Percobaan
Persiapan Media Tanam
Tanah yang digunakan untuk media tanam adalah Inceptisols yang diambil secara komposit dari lapisan atas dengan kedalaman 0-20 cm, lalu dikering udarakan selama 2-4 hari. Kemudian tanah ditumbuk dan disaring dengan saringan berukuran 2 mm lalu tanah ditimbang sebanyak 5 kg dan dimasukan ke dalam polibeg. Kemudian dicampurkan perlakuan kompos kakao, dan kotoran cacing sesuai dosis pada setiap perlakuan dan dicampur secara merata. Penyiraman dilakukan dengan memberikan sejumlah air yang sesuai dengan kebutuhan air sampai kapasitas lapang.
Persiapan Benih dan Perkecambahan
Benih kakao jenis Upper Amazone Hybrid (UAH) diambil dari buah yang masak, yang diambil dari batang utama tanaman kakao. Biji dari buah kakao untuk benih diambil bagian tengahnya saja (berukuran 18-19 cm), sedangkan bagian kedua sampingnya dibuang dan diambil hanya biji-biji yang besarnya seragam.
Bahan tanaman biji kakao dibersihkan dahulu dari lendir yang menempel dengan sekam padi tujuannya supaya biji cepat berkecambah dan supaya terhindar dari serangan penyakit, biji direndam dahulu dengan fungisida Dhitane M-45 dengan konsentrasi 2 g L-1 air selama 5 menit. Benih kakao jenis UAH yang sudah siap, dikecambahkan pada medium karung goni. Karung goni dicelupkan ke dalam larutan fungisida Dithane M-45 0,2%. Benih dihamparkan di atas karung (beralas batu bata agar tidak kontak langsung dengan tanah), jarak antar benih 2 x 3 cm sehingga untuk satu karung goni ukuran 100 x 72 cm dapat digunakan untuk 300 benih. Benih ditutup karung goni tipis yang telah dicelupkan dalam fungisida kemudian disiram air setiap hari. Untuk melindungi benih dari tetesan air hujan, bedengan diberi naungan.
Persemaian
Benih yang telah berkecambah (berumur 5 hari) diletakkan pada media tanam (pasir) dengan ketebalan 10 cm. Cara penanaman kecambah adalah bagian ujung benih yang membesar (mata benih) di sebelah bawah dan kemudian membenamkannya sampai kira-kira 0,5 cm saja yang muncul di atas permukaan pasir. Jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 3 cm. Persemaian diberi naungan untuk menghindari dari hujan dan angin.
Penanaman
Bibit dari persemaian dipindahkan ke dalam polibeg pada umur 10 hari. Bibit dipilih yang seragam, bervigor, sehat, akarnya lurus dan tidak mengalami kerusakan. Setiap polibeg yang sudah berisi medium tumbuh ditanami satu kecambah kakao. Polibeg-polibeg disusun di bawah naungan berupa paranet dengan intensitas cahaya yang masuk 65 %. Lahan pembibitan dilindungi dengan plastik tranparan untuk menghindari serangan hama belalang. Kantung-kantung ditempatkan dengn jarak antar polibeg 15 x 30 cm.
Pemeliharaan meliputi kegiatan penyiraman, penyiangan gulma, serta pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dengan melakukan penimbangan terlebih dahulu untuk menentukan jumlah air yang harus ditambahkan. Hal tersebut dimaksud untuk mempertahankan kondisi kapasitas lapang. Kegiatan penyiraman dilakukan setiap pagi hari dengan cara menyiramkan air ke dalam polibeg yang sebelumnya telah diberi lubang secara merata pada setiap kedalaman media.
Pemupukan dilakukan setiap dua minggu menggunakan urea 2 g, pada satu bibit. Penyiangan gulma dilakukan secara manual yaitu mencabut setiap gulma dari polibeg kemudian dibenamkan kembali kedalam tanah pada polibeg tersebut. Pemberian pestisida dilakukan bila terjadi serangan hama dan penyakit. Pestisida yang dianjurkan adalah dengan bahan aktif Deltrametrin (Decis 2,5 EC), Sihalotrin (Matador 25 EC), dan Dithane M-45.
BAB V HASIL PEMBAHASAN
Hasil analisis terhadap sifat fisik dan kimia Fulventic Eutrudeps Jatinangor, disajikan pada Lampiran 2. Tanah ini memiliki tekstur liat berdebu dan agak masam (pH 5,6), C-organik sebesar 1,55 termasuk kategori rendah, sedangkan kandungan haranya termasuk dalam penilaian kesuburan kimia yang rendah. Wood (1989) mengemukakan bahwa Inceptisol cocok untuk tanaman kakao asalkan tidak berpasir, basah atau perairan dangkal.
Hasil analisis kimia terhadap kascing dan kompos (seperti disajikan pada Lampiran 3), kascing memiliki C/N rendah yaitu sebesar 10 bila dibandingkan dengan kompos bioaktif kulit buah kakao (KBKBK) yaitu sebesar 12. Hal ini menunjukkan bahwa kascing memiliki tingkat perombakan bahan organik yang lebih mudah, sehingga dapat memperbaiki tingkat kesuburan tanah dan tanaman. Selain itu, kascing memiliki KTK 69,0 cmol/kg yang lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan KBKBK 49,3 cmol/kg. KTK yang tinggi memudahkan terjadinya pertukaran kation dari tanah ke akar menjadi lebih baik. Kascing juga memiliki kandungan hara yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan KBKBK. Kandungan hara (P2O5, K2O) yang tinggi dan didukung KTK yang tinggi menyebabkan kascing dapat mensuplai unsur hara tambahan yang lebih tinggi. Namun demikian, KBKBK mempunyai CaO dan MgO lebih tinggi dan S lebih rendah. CaO terlibat dalam pembelahan sel dan sebagian besar kegiatan pada membran sel. MgO merupakan komponen klorofil dan kofaktor berbagai macam enzim. Sedangkan unsur S terlibat dalam penyediaan energi untuk tanaman (Fageria, dkk., 1991). Tingkat kemasaman kascing dan KBKBK adalah tidak jauh berbeda yaitu basa.
Hama yang paling dominan pada waktu percobaan bila dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan adalah belalang (Valanga nigricornis) tergolong hama yang mengunyah. Cara pencegahannnya dengan mengisolasi tempat percobaan menggunakan anyaman bambu (giribig). Walaupun telah melakukan tindakan pencegahan selama percobaan berlangsung masih terdapat serangan hama sebesar 25 % dari total tanaman dengan ciri daun kakao pada ujungnya bergerigi.
Penyakit yang muncul adalah antraknos, dengan gejala matinya daun muda. Daun muda yang sakit dicirikan bintik-bintik kecil berwarna coklat dan biasanya mudah gugur. Sedangkan pada daun dewasa, penyakit ini dapat menyebabkan terjadinya bercak-bercak nekrosis (jaringan mati) yang berbatas tidak teratur. Bercak-bercak ini akan menjadi lubang. Ranting yang daun- daunnya terserang dan gugur dapat mengalami mati pucuk (die back). Penyakit ini disebabkan oleh jamur Colletotrichum gloeosporoides (Haryono Semangun, 2000). Tingkat serangan pada umur 6 MST mencapai 40 % dari populasi tanaman. Pengendalian dengan fungisida Dithane M-45 sebanyak 2 cc/L dilakukan tiga kali penyemprotan dengan interval tujuh hari sekali.
Hasil pengamatan terhadap iklim seperti suhu, kelembaban dan curah hujan disajikan pada Lampiran 4. Selama percobaan berlangsung, suhu berkisar antara 23,0 – 24,2 oC dengan kelembaban nisbi 80-81 %, sedangkan curah hujan cukup tinggi yaitu 6 - 20 mm/hari. Hal ini yang mengakibatkan serangan penyakit cukup tinggi selama percobaan. Curah hujan yang tinggi, 3 - 6 hari berturut-turut akan menyebabkan kelembaban udara tinggi dan muncul cendawan yang menyebabkan penyakit (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao,2004).
Penelitian berakhir pada umur 12 minggu setelah tanam, karena sesuai dengan kriteria bibit pindah ke lapangan menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (2004), yaitu berumur 3 bulan, jumlah daun minimum 12 lembar dan ukuran diameter batang 0,7 cm. Kriteria yang belum terpenuhi adalah tinggi batang minimum 40 cm, sedangkan hasil percobaan tinggi batang hanya 22 cm. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan yang kurang optimal akibat cuaca yang tidak mendukung pada awal percobaan.
5.2 Pengamatan Utama
Kemasaman Tanah (pH tanah)
Berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 6) menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara KKBKK dengan kascing.
Secara mandiri perlakuan dosis kompos berpengaruh nyata terhadap pH tanah (Tabel 1). Setiap kenaikan dosis kompos, berpengaruh nyata terhadap peningkatan pH tanah mendekati pH 7 (netral), sehingga kisaran pH tersebut dianggap baik dan optimal untuk pertumbuhan bibit kakao. Hal ini didukung oleh pendapat Akenhorah 1979 dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kako Indonesia (2004), bahwa bibit kakao akan tumbuh optimal pada pH mendekati netral atau berkisar 5,6 – 6,8. Namun demikian, baik KBKBK dan kascing merupakan muatan tidak tetap (variabel), artinya setiap kenaikan atau penurunan pH tanah tidak selalu memiliki korelasi terhadap perbaikan kesuburan tanah. Hal ini tergantung dari kekuatan ion pengikat yang berada pada liat koloid.
Pengaruh perlakuan kascing terhadap pH tanah menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada semua level dosis. Hal ini dapat disebabkan oleh tanaman kakao termasuk tanaman tahunan berbatang kayu sehingga untuk dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman diperlukan dosis kascing yang lebih banyak.
C-organik
Hasil analisis statistik pengaruh KBKBK dengan kasing terhadap C- organik menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata (Lampiran 7). Hal ini diduga
Faktor perlakuan dosis KBKBK memberikan pengaruh nyata terhadap C-organik. Efek mandiri (Tabel 2) pada dosis KBKBK memperlihatkan bahwa setiap peningkatan dosis KBKBK berpengaruh nyata terhadap peningkatan C- organik. Dosis 2,51 kg per polibeg memiliki persen C-organik tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kecuali dosis 1,67 kg per polibeg. Dosis KBKBK yang tinggi telah menyumbangkan C-organik yang tinggi pula terhadap tanah. Sanchez (1993) berpendapat bahwa pupuk organik seperti halnya kompos dapat meningkatkan kadar C-organik tanah. Peningkatan kadar C-organik dapat pula disebabkan oleh jumlah mikroorganisme yang mendekomposisi bahan organik KBKBK tersebut relatif sedikit. Produk dekomposisi bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroorganisme tanah untuk pembentukan sel tubuhnya. Hal ini mengandung arti bahwa bahan organik tanah meningkatkan populasi mikroorganisme tanah. Menurut Buckman and Brady (1982) populasi mikroorganisme tanah meningkat dengan adanya penambahan bahan organik ke dalam tanah ditinjau dari peredaran CO2.
Pemberian kascing pada berbagai dosis tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap C-organik, hal ini diduga bahwa pada kasing sumber bahan asal C-organik yang diberikan dosisnya terlalu rendah, sehingga tidak cukup mampu untuk meningkatkan C-organik secara nyata, meskipun secara nilai rata-rata meningkat seiring peningkatan dosis kascing. Namun demikian, kandungan C-organik di atas 3 persen sudah tergolong tinggi dan optimal bagi kebutuhan tanaman kakao. Kadar bahan organik ini sidah akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, absorpsi hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorpsi menandakan bahwa daya pegang tanah terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk diserap akar tanaman.
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Tidak terjadi interaksi yang nyata antara KBKBK dan kascing terhadap KTK tanah (Lampiran 8). Hal ini dikarenakan proses dekomposisi KBKBK dan kascing belum banyak menghasilkan humus yang mempunyai gugus karboksil (-COOH ↔ COO- + H+) dan phenol (-C6H4O- ↔ -C6H3O- + H+). Disosiasi H+ dari gugus karboksil dan phenol sebenarnya akan menambah muatan (-) pada kompleks jerapan (Tisdale at al., 1993), sehingga kapasitas sangga tanah meningkat, namun karena asam-asam organik hasil dekomposisi dari kompos dan kascing sebagian besar digunakan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi sisa bahan organik di dalam tanah, sehingga tidak terjadi interaksi.
Berdasarkan efek mandiri kedua faktor perlakuan tersebut, baik KBKBK maupun kascing tidak menunjukkan angka beda nyata pada seluruh level dosis (Tabel 3). KTK tanah awal yang cukup tinggi diduga telah mempengaruhi pada kesimbangan hara di dalam tanah oleh tanaman bibit kakao untuk tumbuh dengan optimal, sehingga berapapun peningkatan dosis kedua bahan organik tersebut, tidak akan mempengaruhi KTK tanah, artinya secara teoritikal tetap tinggi.
Pemberian KBKBK dan kascing ternyata tidak berbeda nyata dengan tanpa perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa penambahan bahan organik belum mampu meningkatkan KTK pada dosis KBKBK dan kascing yang tinggi karena memerlukan waktu yang lebih lama untuk dilihat pengaruhnya terhadap KTK.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan telaah hasil penelitian mengenai pengaruh kompos bioaktif kulit buah kakao dan kascing terhadap pertumbuhan bibit kakao, dapat disimpulkan hal- hal sebagai berikut :
(1) Pemberian kompos bioaktif kulit buah kakao dengan kascing tidak memberikan pengaruh interaksi nyata terhadap pH tanah, C-organik, dan KTK tanah. Secara mandiri, kompos bioaktif kulit buah kakao memberikan pengaruh nyata terhadap perbaikan pH tanah dan C-organik, sedangkan pemberian kascing tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ketiga variabel sifat kimia Fluventic Eutrudepts.
(2) Pemberian kompos bioaktif kulit buah kakao 2,51 kg per polibeg memberikan pH tanah dan C-organik tertinggi masing-masing sebesar 6,9613 dan 4,844%, atau meningkat 50,80% dan 159% jika dibandingkan dengan kontrol.
6.2 Saran
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh KBKBK terhadap pH dan C-organik meningkat kearah yang lebih baik, sedangkan kascing pengaruhnya belum cukup nyata terhadap perbaikan sifat kimia Fluventic Eutrudepts, hal ini diakibatkan rendahnya dosis yang diberikan dan tingginya curah hujan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan dosis kascing yang ditingkatkan, yaitu diatas 30 g per polibeg.
Anda sedang membaca tentang Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Kascing Terhadap Perbaikan Beberapa Sifat Kimia Fluventic Eutrudepts dan anda bisa menemukan artikel Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Kascing Terhadap Perbaikan Beberapa Sifat Kimia Fluventic Eutrudepts ini dengan url https://solusifunny.blogspot.com/2012/02/pengaruh-kompos-kulit-buah-kakao-dan.html, Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Kascing Terhadap Perbaikan Beberapa Sifat Kimia Fluventic Eutrudepts ini sangat bermanfaat bagi Anda atau siapapun yang Anda kehendaki, namun jangan lupa untuk meletakkan link postingan Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Kascing Terhadap Perbaikan Beberapa Sifat Kimia Fluventic Eutrudepts sebagai sumbernya.